Senin, 20 Oktober 2014

Jejak Ekologi

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Tanpa kita sadari aktivitas yang sering kita lakukan sehari-hari telah merusak alam / lingkungan disekitar kita dengan melakukan eksplorasi terhadap semua sumber daya yang ada demi memenuhi kepentingan manusia padahal bumi atau lingkungan yang kita diami memiliki kapasitas daya dukung dan daya tampungnya sendiri. Kita tidak menyadari bahwa bumi hanya ada satu dengan terus melakukan ekplorasi terhadap lingkungan tanpa henti. Padahal setiap kita memainkan satu peranan dalam memastikan kesehatan masa depan dan kesejahteraan bagi semua orang, hewan, tumbuh-tumbuhan dan ekosistem di planet ini. Pilihan yang bertanggung jawab dapat membantu kita menghemat energi, melindungi habitat dan membangun masa depan yang berkelanjutan bagi masyarakat di seluruh dunia.
Kesadaran masyarakat  terhadap pemanasan global meski tetap merusak bumi telah memicu gerakan cinta lingkungan secara besar-besaran. Sekarang hampir semua perusahan besar sudah menerapkan kebijakan “teknologi hijau”. Terlepas dari bagamana sikap perusahan besar, kita sebagai penduduk biasa di bumi juga bisa ikut melestarikan lingkungan secara pribadi, baik lingkungan di dunia nyata maupun lewat dunia maya.1
Sebuah pendekatan baru yang mengkaji tingkat konsumsi manusia dan dampaknya terhadap lingkungan yang bertujuan untuk kelestarian lingkungan populer dengan sebutan “ecological footprint” atau kalau diterjemahkan secara bebas artinya “jejak ekologi”. Semua aktivitas dan kebutuhan hidup manusia dari lingkungan harus disesuaikan dalam luas area yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia.  Luas area untuk mendukung kehidupan manusia ini dikenal dengan sebutan jejak ekologi (ecological footprint).Manusia harus mengetahui tingkat keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan, kebutuhan hidup manusia kemudian dibandingkan dengan luas aktual lahan produktif. 
Pada 2001 kapasitas lahan kehidupan (biocapacity) bumi hanyalah 11.3 miliar global hektare, yang hanya merupakan seperempat permukaan bumi atau hanya memberi jatah paling tinggi 1,8 gha per orang. Adapun WWF (2005) pernah menghitung bahwa rata-rata per kapita jejak ekologi per orang di bumi adalah 2,2 gha, artinya selama ini, secara rata-rata penduduk bumi mengalami defisit 0,4 gha.2

Penduduk Amerika Serikat memiliki rata-rata jejak ekologi tertinggi perkapita (9,5 gha), Inggris (5,45 gha), dan (Swiss 4 gha), sedangkan Indonesia diperkirakan rata-rata 1,2 gha. Adapun jejak ekologi terendah adalah Bangladesh, dengan rata-rata 0,5 gha. Pendekatan ini menunjukkan bahwa semakin kaya suatu negara dan bangsa, semakin besar jejak ekologi mereka dalam menguras sumber daya di bumi. Dengan demikian, kapasitas yang diperlukan dengan gaya hidup negara-negara maju jauh lebih boros, sehingga untuk bangsa Amerika guna memenuhi gaya hidup mereka diperlukan 9,5 planet setara dengan bumi, sedangkan warga Inggris memerlukan lima planet dan pola jejak ekologi rakyat Swiss memerlukan empat planet lagi. Jadi gaya hidup mereka di negara-negara kayalah yang menjadi penekan kemampuan bumi dalam menyediakan suplai sumber daya alam.
Konsep “Ecological footprint” ini pada awalnya dibangun oleh Profesor Willian Rees dari Universiti British Colombia pada tahun 1992. Kini konsep jejak ekologi telah digunakan dengan meluas sebagai petunjuk kelestarian alam sekitar. Jejak ekologi dapat membantu pihak pembuat kebijakan merancang sistem kehidupan manusia. Manusia di dalam memenuhi kehendak menjalankan aktivitas ekonomi seperti pertanian dan sebagainya. Melalui jejak ekologi, penggunaan sumber alam oleh manusia dapat diketahui, semua penggunaan tenaga seperti tenaga biomas,air,bahan binaan kepada kiraan ukuran tanah yang dinamakan global hektar (atau di dalam unit yang dinamakan gha).

I.2. Tujuan
1.      Mengetahui dan memahami pengertian Jejak Ekologi serta cara menghitungnya
2.      Mengetahui dan memahami hubungan aktivitas manusia dan daya dukung lingkungan
3.      Mengetahui jejak ekologi pribadi penulis dalam satu tahun terakhir

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Jejak Ekologi

II.1.A. Pengertian
Ecological Footprint adalah alat bantu untuk dapat kita pergunakan dalam mengukur penggunaan sumberdaya dan kemampuan menampung limbah dari populasi manusia dihubungkan dengan kemampuan lahan, biasanya dinyatakan dalam hektar.Ecological Footprint dapat digunakan sebagai ukuran prestasi kita dalam mendukung keberlanjutan bumi ini, dan menjadi indikator terbaik dan efisien dalam mendukung keberlanjutan kehidupan. Alat ukur ini menjadi penting dalam konteks untuk mengetahui apakah kegiatan konsumsi yang kita lakukan masih dalam batas daya dukung lingkungan ataukah sudah melewatinya, dengan kata lain masih dalam surplus ataukah sudah dalam defisit (penurunan kualitas) ekologi.

            Ecological Footprint secara sederhana dapat ditentukan dengan menelusuri berapa besarnya konsumsi sumberdaya alam (baik berupa produk ataupun jasa), serta sampah yang kita produksi dan disetarakan dengan area permukaan bumi yang produktif secara biologis dalam satuan luasan hektar (ha).

II.1.B. Konsep jejak ekologi
Konsep ecological footprint (EF), atau jejak kaki ekologis, pertama kali diperkenalkan oleh William Rees dan Martin Wackernagel pada tahun 1990-an. Konsep ini pada dasarnya dikembangkan sebagai usaha pencarian indikator untuk pembangunan berkelanjutan dan khususnya diharapkan dapat menjadi metode untuk mengukur secara kuantitatif mengenai hubungan perlakuan manusia terhadap bumi dengan daya dukung yang dimiliki oleh bumi itu sendiri (Wackernagel and Rees, 1996). Konsep ini menegaskan bahwa hampir semua tindakan dan perilaku hidup manusia, misalnya perilaku konsumsi dan transportasi, akan membawa dampak ekologis atau dampak bagi lingkungan (Hoekstra, 2007). Pendekatan EF dapat digunakan untuk mendidik masyarakat mengenai penggunaan sumber daya alam yang berlebihan dan kemampuan daya dukung bumi untuk menyokong keberlanjutan hidup mereka. Pendekatan ini dapat digunakan sebagai indikator keberlanjutan. Pendekatan ini juga memberikan penjelasan mengenai dampak perilaku manusia terhadap lingkungan dan dapat menghubungkannya dengan daya dukung bumi.2
Tapak ekologi (Ecological Footprint) adalah konsep untuk mencermati pengaruh manusia terhadap cadangan dan daya dukung bumiMemahami tapak ekologi memungkinkan untuk melihat seberapa besar kekayaan alam (‘renewable’) yang masih tersisa, dan seberapa besar pengaruh konsumsi manusia terhadap ketersediaannya
Tapak ekologi atau ecological footprint adalah perangkat analisis untuk mengukur dan mengomunikasikan dampak pemanfaatan sumber daya pada lingkungan. Komponen yang dianalisis dalam tapak ekologi adalah penggunaan energy langsung.
·         material dan limbah
·         pangan
·         transport personal
·         air
·         bangunan

II.1.C. Macam-macam analisa footprint
Saat ini telah dikenal tiga jenis footprint dalam kehidupan sehari-hari, yaitu : 1) ecological footprint, 2) carbon footprint dan 3) water footprint. Satuan dan sumber daya yang dianalisis secara spesifik oleh masing-masing jenis footprint tersebut berbeda-beda. Ecological footprint difokuskan untuk menghitung penggunaan lahan bioproduktif yang digunakan untuk menyokong populasi dunia dan dinyatakan dalam satuan hektar. Perhitungan carbon footprint dititikberatkan pada penghitungan penggunaan energi yang dinyatakan dalam volume emisi karbondioksida (CO2) menggunakan satuan ton. Water footprint adalah jenis footprint yang terakhir. Footprint ini menghitung penggunaan air untuk menyokong kehidupan manusia yang dinyatakan dalam satuan volume air (M3).
Jenis analisis footprint yang kedua adalah Analisis carbon footprint (CF). Carbon footprint adalah indikator mengenai dampak aktivitas manusia terhadap iklim global yang dinyatakan dalam jumlah gas rumah kaca (GRK) yang diproduksi. Carbon footprint secara konseptual menggambarkan kontribusi individu atau negara terhadap pemanasan global. Carbon footprint dapat menunjukkan total emisi karbondioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya yang diemisikan pada seluruh proses untuk menghasilkan produk atau jasa (Hoekstra, 2008).
Jenis analisis footprint yang terakhir adalah analisis water foootprint (WF). Water footprint dikembangkan oleh Hoekstra pada tahun 2002. Water footprint dapat merepresentasikan jumlah volume air tawar yang dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan suatu populasi, seperti yang diungkapkan oleh Madrid et al “The water footprint represents the freshwater volume required to sustain a population” (Madrid et al., not dated). Hoekstra dan Chapagain (2004) dalam laporan hasil penelitiannya mendefinisikan water footprint individu, bisnis atau negara adalah total volume air tawar yang digunakan untuk memproduksi makanan dan jasa yang dikonsumsi oleh individu, bisnis atau negara. Nilai water footprint umumnya dinyatakan dalam satuan volume air yang digunakan setiap tahunnya. Saat ini, water footprint telah berkembang menjadi alat analisis yang digunakan untuk mengarahkan perumusan kebijakan kearah isu-isu mengenai keamanan air dan penggunaan air yang berkelanjutan di negara maju (Hoekstra, 2008).

II.1.D. Perilaku Manusia
Jika manusia (secara keseluruhan, kaya ataupun miskin) menjadi tertuduh atas penyebab kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, apa yang bisa dilakukan. Sekarang ini target yang dilakukan oleh para pembela lingkungan adalah bagaimana sesegera mungkin orang dapat mengubah pola gaya hidup dan perilaku.
Ada empat faktor yang diperkirakan dapat menentukan perubahan bagi perilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif yaitu :
1.      Nilai-nilai moral dan budaya didalamnya termasuk nilai keagamaan yang mengkristal.
Dengan keyakinan, seseorang akan terdorong untuk tidak cenderung merusak atau melakukan sesuatu berlebih-lebihan. Misalnya agama sangat menganjurkan manusia tidak berlaku boros dan bertindak mubazir. Di lain pihak, budaya pula yang dapat mendorong atau menahan seseorang berperilaku konsumtif dan hedonis.
2.     Pendidikan, yang diharapkan mampu meningkatkan kapasitas seseorang, baik individu maupun kolektif, dalam menyikapi dan mengubah diri untuk mendukung gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.
3.     Perundang-undangan atau aturan dan tata kerja yang jelas, yang mendorong manusia tidak akan secara sembrono menguras sumber daya alam. Kealpaan dalam menerapkan sistem legal ini sangat krusial dan pernah terjadi di Indonesia, sehingga tidak ada ketentuan dan pembatasan kepemilikan hak pengusahaan hutan. Seorang taipan pernah diperbolehkan menguasai konsesi hingga 5 juta hektare dan berhasil mempercepat pengurasan sumber daya kemudian menimbulkan kerugian negara.
4.     Harga pasar, yang mendorong seseorang bergerak mengeksploitasi sumber daya guna mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Contoh yang baik sekarang ini tengah terjadi. Ketika crude palm oil meninggi, animo dan nafsu para investor serta pelaku bisnis akan lebih agresif guna membuka kebun-kebun sawit baru, sehingga mereka harus menggusur hutan-hutan alam yang mempunyai nilai ekonomi dan ekologi jangka panjang serta bermanfaat di masa yang akan datang.
Lebih dari itu, sesungguhnya pasar juga bisa memberikan peluang dan dapat mendorong perilaku konsumennya agar bertindak ramah lingkungan. Gerakan inilah yang dilakukan oleh Wal Mart, misalnya, dengan cara hanya menjual bola listrik hemat energi. Retailer yang memiliki 100 juta pelanggan ini mendorong konsumennya agar mengganti bola lampu berkekuatan 60 watt dengan lampu fluorescent yang berkekuatan 13 watt (karena daya terang yang sama). Walaupun lampu ini lebih mahal (Rp 20-30 ribu per buah), bola ini mampu bertahan 8-12 lebih lama dibanding lampu biasa.3
Jika dihitung, lampu hemat energi ini mampu menghemat sekitar Rp 300 ribu sepanjang pemakaian dibanding bila menggunakan lampu biasa. Retail raksasa Amerika ini juga menghitung, satu bola lampu fluorescent akan menghemat setengah ton gas rumah kaca yang akan dilepaskan ke udara. Perhitungan lebih lanjut adalah perubahan perilaku konsumen tersebut dapat mengefisienkan 10 juta ton batu bara yang dibakar dari pembangkit listrik dan mencegah 20,5 juta ton gas rumah kaca yang terbuang atau sama dengan pencegahan penggunaan 700 ribu mobil yang membuang gas rumah kaca ke udara.
Jejak ekologis adalah ukuran seberapa besar kebutuhan manusia akan sumber daya alam dibandingkan dengan ketersediaannya di bumi. Misalnya, saat membeli sebuah pakaian baru berarti kita telah menghabiskan sejumlah sumber daya alam. Katakanlah sekian liter air digunakan untuk menyirami si pohon kapuk yang akan dijadikan kain. Selain itu kita juga menghabiskan sejumlah bahan bakar minyak untuk mengangkut kapuk tersebut ke pabrik. Juga bahan bakar minyak untuk menghidupkan mesin yang akan mengolah kapuk hingga menjadi kain. Sebut saja kain tersebut kemudian dijahit dengan menggunakan mesin jahit listrik, maka kita juga telah menggunakan sejumlah energi dari batu bara untuk membangkitkan sumber listrik. Kemudian bahan bakar minyak juga digunakan untuk mengangkut pakaian yang telah jadi untuk dipasarkan. Jika pakaian ini adalah hasil impor dari luar negri, tentu lebih banyak lagi bahan bakar yang dibutuhkan untuk membuatnya sampai ke tangan kita.
Jejak kaki ekologis menganalisa perbandingan kebutuhan manusia terhadap alam dengan kemampuan alam untuk meregenerasi sumberdayanya. Jejak kaki ekologis diukur dengan menganalisa jumlah dari lahan produktif darat dan laut yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi yang diperlukan manusia. Dalam metode penghitungan jejak kaki ekologis, semua bentuk sumber daya alam dikonversi dalam sebuah satuan pengukuran yang disebut global hektar (gha). Dengan menggunakan asesmen ini, memungkinkan untuk memperkirakan berapa banyak bagian dari planet bumi yang akan dibutuhkan untuk mendukung kehidupan setiap orang dengan gaya hidup yang dijalaninya.

II.2. Manusia dan Daya Dukung Lingkungan
II.2.A. Pengertian daya dukung lingkungan
 Daya dukung lingkungan hidup menurut Undang-Undang No.32 tahun 2009 adalah yang pertama kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.  Kedua daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Definisi daya dukung menurut pendapat Soemarwoto pada tahun 2001 yang mengungkapkan daya dukung lingkungan pada hakekatnya adalah daya dukung lingkungan alamiah, yaitu berdasarkan biomas tumbuhan dan hewan yang dapat dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas dan waktu di daerah itu. sedangkan pendapat Khanna pada tahun 1999, yang memaparkan daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).

II.2. B. Hubungan aktivitas manusia dan daya dukung lingkungan
Menurut Soemarwoto tahun 1995: Manusia merusak alam dengan berbagai macam kegiatannya yang menghasilkan limbah. Ketika jumlah penduduk masih sedidik terdapat keseimbangan antara jumlah limbah yang dibuang dengan kemampuan pemurnian dari lingkungan sehingga lingkungan tidak mengalami pencemaran atau tingkat pencemaran yang rendah. Dengan makin meningkatnya jumlah penduduk disuatu wilayah maka jumlah limbah yang dihasilkan melampaui kemampuan lingkungan untuk memurnikan diri akibatnya terjadilah pencemaran lingkungan.
            Dihubungkan dengan jumlah penduduk yang dapat ditampung oleh lingkungan hidup disuatu wilayah secara berkelanjutan, konsep daya dukung menjadi lebih rumit karena peranan yang unik dari kebudayaan manusia. Terdapat tiga faktor kebudayaan yang saling terkait secara kritikal dengan daya dukung suatu wilayah (ranganathan dan daily, 2003) yaitu:
1.      Perbedaan-perbedaan individual dalam hal tipe dan kuantitas sumber daya yang dikonsumsi.
2.      Perubahan yang cepat dalam hal pola konsumsi sumberdaya.
3.      Perubahan teknologi dan perubahan budaya lainnya.
Ecological footprint (jejak ekologi) adalah suatu metode penghitungan sumberdaya yang memperkirakan konsumsi sumberdaya alam dan penyerapan limbah yang diperlukan sebuah populasi manusia atau kegiatan ekonomi dalam bentuk :
1.        Luas lahan area produktif (Wackernagel and Rees, 1996).
Analisis jejak ekologi ini menghitung dampak aktifitas manusia terhadap alam. Metode ini mampu menjawab pertanyaan dasar pembangunan berkelanjutan, yaitu seberapa besar sumber daya alam yang telah digunakan manusia dibandingkan dengan ketersediaannya sehingga konsep ini dapat membantu mencapai pembangunan keberlanjutan. Menurut Wackernagel et.al. (2005) penelitian tentang jejak ekologi merupakan salah satu upaya mendukung keberhasilan pemerintah nasional ataupun lokal dalam membantu penduduknya hidup berkecukupan baik sekarang maupun dimasa depan. Walaupun keberadaan modal alami, kemampuan alam untuk menyediakan sumber daya dan pelayanan ekologi bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan ini. Namun tanpa modal alami, visi tersebut menjadi tidak mungkin untuk diwujudkan. Hasil penelitian Globalfootprint Network tahun 2006 dengan populasi penduduk dunia 6,6 milyar jiwa, menunjukan total biocapacity (kapasitas produksi secara hayati) adalah 11,9 milyar global hektar (gha) atau 1,8 gha perkapita, sedangkan total jejak ekologi adalah 17,1 milyar gha atau 2,6 gha perkapita. Hal ini berarti rata-rata penduduk bumi mengalami defisit 0,8 gha, yang berarti diperlukan 1,44 planet bumi untuk menopang kehidupan manusia. Penggunaan bumi berdasarkan jejak ekologi tahun 2006 adalah jejak karbon (carbon footprint) sebanyak 9,1 milyar gha, jejak pertanian (cropland footprint) 3,7 gha, jejak hutan (forest footprint) 1,8 gha, jejak penggembalaan (grazingfootprint) 1,4 gha, jejak perikanan (fisheries footprint) 0,6 gha dan jejak terbangun (build footprint)    0,4 gha (Globalfootprint network, 2006).
2.        Jika konsumsi manusia lebih besar dari biokapasitas alam akan mengakibatkan kerusakan lingkungan akibat ekstraksi sumberdaya alam yang berlebihan dan akan menurunkan kemampuan alam dalam mendukung kebutuhan hidup manusia. Menurut Wackernagel and rees 1996 Salah satu konsumsi yang besar pengaruhnya dalam perhitungan jejak ekologi adalah konsumsi pangan. Jejak makanan (food footprint) menghitung dampak aktifitas konsumsi pangan manusia terhadap alam. Dampak meliputi area lahan yang dibutuhkan untuk memproduksi biomassa, lahan hutan untuk menyerap sampah dan CO2 dalam produksi tersebut dan lahan perairan dalam memproduksi perikanan. Menurut Bond pada tahun 2002 Semakin jauh lokasi sumber pangan dengan konsumen dan semakin sering mengkonsumsi pangan kemasan, maka semakin besar pula luasan lahan yang diperlukan untuk memenuhinya.
            Penghitungan ekologi Footprint selalu didasarkan dengan lima asumsi (venetoulis dan thalberth, 2005) sebagai berikut :
1.      Sangat mungkin menelusuri jejak hampir seluruh sumber daya yang dikonsumsi orang dan limbah yang dihasilkannya. Informasi ini dapat ditemukan di kantor statistic.
2.     Hampir semua sumber daya dan aliran limbah dapat dikonfersi menjadi area produktif biologis yang dibutuhkan untuk memelihara aliran tersebut.
3.      Perbedaan area dapat diekspresikan dalam satu unit yang sama (hektar atau are) yang disebut dengan skala proporsional produktivitas biomassa.
4.     Sesudah setiap ukuran lahan distandarisasi yang menunjukan jumlah yang sama dari produktivitas biomassa, maka dapat ditambah dengan jumlah permintaan yang ditunjuk oleh manusia.
5.      Area bagi total untuk permintaan manusia ini dapat dibandingkan dengan jasa ekologis yang ditawarkan alam, saat itulah kita dapat menaksir area produktif diatas planet.

II.2.C. Kebutuhan Lahan perorang pertahun berdasarkan kriteria di Indonesia
Tabel 1. Kebutuhan Lahan perorang pertahun berdasarkan kriteria
No
Kebutuhan Lahan
Jumlah (Ha/ orang)
Persentase
1
Lahan energi
0.201
25.70
2
Lahan terdegradasi
0.26
33.30
3
Kebun
0.026
3.33
4
Lahan pertanian
0.013
1.66
5
Lahan peternakan
0.072
9.21
6
Hutan
0.21
26.90

Total Kebutuhan Lahan
0.78
100
Sumber : Laporan Final Kajian daya Dukung Lingkungan P.Jawa, Jakarta PT. Lemtek Konsultan Indonesia, 2007.

Rincian asumsi untuk menetapkan kebutuhan lahan perorang adalah :
1.      Kebutuhan pangan adalah berdasarkan 4 sehat 5 sempurna
2.      Kebutuhan papan digunakan standart T 76 perumahan dept. PU :90 m2 untuk keluarga terdiri dari 3 orang atau 20-30 m2 per orang.
3.      Kebutuhan transfortasi setara 120 kg beras /tahun
4.      Kebutuhan energi setara 120 kg beras / tahun
5.     Kebutuhan untuk daur ulang (air, CO2, limbah/sampah lainnya) setara dengan 120 liter air/hari untuk kemampuan hutan mendaur ulang air 0.3 liter air untuk setiap 1 liter dengan tinggi curah hujan rata-rata 2000-2500 mm dan 56 kg CO2 perhektar hutan serta keanekaragaman hayati.
Manusia hidup butuh PANGAN yang didapatkan dari proses BUDIDAYA TANAMAN, yang butuh lahan yang luas. Luasan lahan pertanian di Indonesia saat ini mengalami penciutan akibat perubahan fungsi. Daya dukung bumi (earth carrying capacity) secara spasial berhubungan dengan ketersediaan lahan dimana suatu komunitas tinggal. Konsep kapasitas daya dukung bumi tersebut mengukur besaran maksimum populasi yang mampu ditopang secara berkelanjutan oleh luasan area tertentu di bumi.

2 komentar:

  1. terima kasih atas infonya atas ini tugas kuliah saya dapat terselesaikan

    BalasHapus
  2. terima kasih atas infonya atas ini tugas kuliah saya dapat terselesaikan

    BalasHapus