Senin, 20 Oktober 2014

KUANTIFIKASI NILAI EKONOMI LINGKUNGAN

KUANTIFIKASI NILAI EKONOMI LINGKUNGAN

 

BERAPA rupiah nilai lingkungan yang dihasilkan oleh suatu ekosistem, sampai kini masih tetap nisbi. Kuantifikasi nilai ekonomi kerusakan ataupun manfaat lingkungan karena pembangunan umumnya belum memiliki keandalan ataupun kesamaan pendapat. Padahal, true value sumber daya tersebut sangat perlu diketahui. Kalau ada angka kuantitatif, wujudnya baru berupa jumlah produk dari sumber daya atau angka kerusakan fisik akibat aktivitas memperolehnya.

BERAPA nilai rupiah kerusakan lingkungan karena kegiatan pembangunan, berapa rupiah yang diperlukan untuk memperbaikinya, dan berapa nilai kemanfaatan ekonomi kalau lingkungan itu dijaga atau diperbaiki, merupakan pertanyaan yang perlu dijawab secara kuantitatif.
Nilai ekonomi lingkungan yang dianggap tak terukur, intangible, dan sering kali bahkan dianggap tidak layak dipertanyakan karena memiliki nilai yang sulit dihitung secara nyata tersebut dapat didekati hingga menjadi tangible, terukur, meskipun cara pendekatannya bersifat relatif dan malahan tak jarang dianggap mengada-ada.

Sebuah contoh yang sering kita dengar, kerusakan lahan karena proses erosi didekati dengan menghitung berapa rupiah yang diperlukan untuk mengangkut kembali lapisan top soil yang hanyut ke sungai dan waduk ke struktur tanah di lokasi semula. Di Korea, Kim dan Dixon (1982) menyajikan angka kerusakan tanah akibat erosi tersebut sebesar 111.964 won per hektar atau senilai 162,3 dollar AS per hektar. Sedangkan di Indonesia, angka riset tentang hal ini ataupun kasus-kasus lingkungan yang lain belum diperoleh.

Nilai pokok lingkungan paling sering dihitung dari kejadian bencana tata air, kerusakan lahan, dan polusi. Nilai lainnya yang tidak kalah penting, namun sering dilupakan adalah nilai konservasi alam hayati dan plasma nutfah maupun nilai keberadaan sumber daya terhadap aktivitas eksogen baik makro maupun yang bersifat mikro. Hutan dan pepohonan berperan paling besar dalam perlindungan ekosistem lingkungan ini, sampai kepada nilai keteduhan dan estetikanya. Bahkan, sumber daya hutan mampu membentuk pola budaya dan sosial setempat.

Bagaimana menguantifikasikan nilainya, memang bukan perkara yang mudah. Tapi, paling tidak dengan itikad memberikan gambaran yang paling dapat dipertanggungjawabkan, kuantifikasi nilai ekonomi (dan finansial) lingkungan ini dapat dilakukan. Tentunya dengan simplifikasi sesederhana mungkin.
Analisis proyek dengan mempertimbangkan nilai ekonomi lingkungan dilakukan oleh Maynard M Hutscmidt bersama empat rekannya melalui metode benefit cost analysis (BCA), dikembangkan tahun 1936 di Amerika Serikat, berkaitan dengan pembangunan proyek pengairan di sana. Metode ini secara sederhana dikembangkan untuk menghitung besarnya peningkatan keuntungan proyek apabila dikeluarkan biaya konservasi lingkungannya, merupakan contoh awal usaha menguantifikasi nilai lingkungan yang mulai diperhatikan. Perdebatan cara analisa ini berlangsung sampai ke Congress selama tahun 1950-an yang mengundang perhatian para ahli ekonomi.

Di tahun 1958, Eckstein, Krutilla dan Eckstein, serta McKean memublikasikan tiga buku tentang benefit cost analysis tersebut. Hammond merupakan orang pertama yang di tahun 1958 memodifikasi metode ini untuk kegiatan pengendalian polusi. Selanjutnya tercatat nama Maass dan kawan kawan (1962), Barnet dan Morse (1963), Dorfman (1965), Herfindahl dan Kneese (1974), serta Mishan (1976) yang juga mengembangkan metode analisis di atas. Metode ini pun berkembang ke Inggris, Amerika Utara, dan Eropa Barat. Dan, kini Bank Dunia pun menggunakannya untuk menganalisa usulan investasi proyek-proyek, termasuk di negara-negara sedang berkembang.

Konsep utama analisis ini secara sederhana menghitung perbandingan keuntungan dan biaya suatu proyek, ditambah upaya konservasi, sebagaimana layaknya menggunakan metode investment criteria di bidang ekonomi. Tujuannya untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi dengan menilai efek perubahan kualitas lingkungan dan mengantisipasi perlakuan perbaikan maupun pengendalian kerusakannya. Intinya, kerusakan lingkungan merupakan eksternalitas yang harus turut diperhitungkan dalam biaya proyek.

CARA sederhana lainnya yang dapat dikembangkan untuk menilai kelayakan suatu proyek adalah metode benefit loss analysis (BLA), yakni dengan memperbandingkan net present value (NPV) dari berkembangnya nilai keuntungan kegiatan dengan nilai kerugian akibat rusaknya lingkungan dalam berbagai aspek yang sebelumnya tidak pernah terjadi (Handadhari, 1994).

Eksploitasi hutan, misalnya, akan menghasilkan banyak keuntungan rupiah. Namun, juga akan merubah struktur ekosistem yang menurunkan kualitas lingkungan atau bahkan merusaknya dalam jangka waktu yang cepat, bahkan sering kali cenderung permanen. Di tanah pertanian, kegiatan budidaya yang tidak disertai konservasi telah menyebabkan erosi, menurunkan produksi pertanian dan menambah ongkos pemupukan yang tidak jarang menyebabkan polusi pestisida yang merugikan kehidupan biota air sungai dan nelayan ikan, serta kesehatan masyarakat.

Di kota besar, pembangunan kota dan permukiman telah menyebabkan naiknya suhu udara sampai 10 derajat Celsius, menurunkan kemampuan tanah menyerap air, polusi udara, tercemarnya sungai, dan berbagai kerusakan nilai lingkungan. Di sektor pertambangan, tidak dapat ditutupi timbulnya kerusakan lingkungan langsung yang amat sulit direklamasi. Namun, hal yang jelas merugikan seperti ini tidak pernah diungkapkan dalam rupiah untuk menilai pertumbuhan nilai ekonomi pembangunan yang sebenarnya.

Sebuah contoh polemik kasus lingkungan yang sempat populer adalah pembangunan padang golf dan agrowisata di Puncak sepanjang medio 1993. Pembangunan lahan 700 hektar yang menjanjikan pajak Rp 4 miliar setahun tersebut akhirnya harus diperbandingkan dengan nilai kerusakan lingkungan berupa menurunnya hasil air yang menurut perhitungan teknis mencapai sekitar 5 juta meter kubik setahun, erosi tanah 211 ton per hektar per tahun, limpasan run off 18 juta meter kubik setahun yang merusak dan memperbesar bahaya banjir di Jakarta akan mengakibatkan kerugian materiil yang bernilai rupiah sangat besar.

Dari hasil air tanah yang hilang saja, apabila dikomersialkan sebagai air mineral dengan nilai serendah Rp 100 per liter, waktu itu, bisa bernilai Rp 500 miliar per tahun. Maka, proyek tersebut justru akan merupakan kerugian nilai lingkungan yang sangat besar, jauh melampaui nilai pajak yang dihasilkan proyek tersebut (Kompas, 24 Mei 1993).

Contoh kasus environmental benefit loss analysis lainnya adalah pembangunan Jalan Tol Jagorawi yang konon sangat menguntungkan. Padahal, kita semua sadar bahwa jalan tersebut yang telah memacu kerusakan lingkungan Bogor-Puncak-Cianjur, bahkan areal pertanian dan peresapan air sepanjang jalan tol itu sendiri. Dan, kini, rencana pembangunan pantura Jakarta yang berjudul "reklamasi pantai" sedang diperdebatkan untung ruginya.

Secara nyata, keuntungan rupiahnya jelas amat menggiurkan (Kompas, 27 September 2002), tetapi kerugian materiil maupun nonmaterial yang akan ditanggung masyarakat pinggiran masih terus-menerus menjadi perdebatan.

Di Indonesia, masalah kuantifikasi nilai ekonomi lingkungan memang belum menarik untuk dibahas. Namun, beberapa ahli ekonomi dan kehutanan telah berusaha mengintroduksinya. Di antaranya, Iwan Jaya Azis (Universitas Indonesia, 1990-an) menyajikan gagasan menginternalisasi faktor-faktor eksternal melalui modifikasi model Robinson dalam bentuk model computable general equilibrium (CGE) yang diharapkan secara spesifik mampu menginternalisasi unsur-unsur pencemaran lingkungan.
Perhitungan kuantitatif nilai konservasi lingkungan hutan nasional telah pula dicoba oleh sekelompok ahli yang konon mengungkapkan bahwa nilai konservasi hutan alami terhadap perlindungan tanah dan penyerapan air saja sekitar 4 miliar dollar AS setahun.

Young Cheul Kim dan Achmad Sumitro (UGM, 2002) mengungkapkan, nilai ekonomi total hutan sebesar lebih dari Rp 10 juta/hektar/tahun, dengan nilai terbesar sebagai gudang penyimpan karbon (89%). Sedangkan IPB Bogor sebelumnya meneliti nilai hasil hutan kayu yang hanya kurang dari 5% dari nilai intrinsik sumber daya hutan, yang menyiratkan besarnya kerugian kegiatan eksploitasi apabila tanpa konservasi hutan.

Akhirnya, meskipun sifatnya masih amat nisbi, nilai ekonomi lingkungan sangat penting untuk dikuantifikasikan. Berapa nilai keuntungan suatu kegiatan pembangunan dibandingkan dengan nilai kerugiannya akibat rusaknya lingkungan dan kehidupan sosial bukanlah hal yang sulit dan mustahil dilakukan. Paling tidak, gambarannya diperlukan untuk memberikan masukan obyektif bagi para pengambil keputusan. Hanya para pihak yang terlibat tentu enggan mengungkapkannya. Apalagi, bila akan mempengaruhi "periuk nasi" mereka. Tetapi, sampai kapan?

Transtoto Handadhari, Pengamat Ekonomi Kehutanan, alumnus UGM

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0306/08/Fokus/357828.htm

KESEHATAN LINGKUNGAN DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM

KESEHATAN LINGKUNGAN DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM
 
I.     Sejarah Kesehatan Lingkungan
Sesungguhnya Semenjak planet bumi dihuni manusia, sudah banyak sekali masalah-masalah kesehatan serta bahaya kematian yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan. Namun dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan pada saat itu maka setiap kejadian yang luar biasa dalam kehidupan selalu diasosiasikan dengan mistik, misalnya wabah penyakit sampar yang berjangkit dianggap sebagai suatu kutukan dan kemarahan dewa
Zaman terus berganti, pada abad ke-19 terjadi revolusi di Inggris, era industrialisasi ini menimbulkan masalah baru pada masyarakat Inggris berupa munculnya pemukiman kumuh, akumulasi buangan dan kotoran manusia, masalah sosial dan kesehatan. Pada tahun 1832, berjangkit wabah kolera yang dahsyat di Inggris yang banyak menimbulkan korban jiwa maka dilakukan penelitian epidemiologik oleh Jhon Snow (1854) yang berhasil membuktikan bahwa penyebab wabah tersebut adalah tercemarnya sumber air bersih yang dikonsumsi masyarakat dengan bakteri Vibrio Kolera. Mulai saat itu, konsep pemikiran mengenai faktor-faktor lingkungan hidup eksternal yang berpengaruh terhadap masalah kesehatan terus menerus dipelajari dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang disebut sebagai ilmu kesehatan lingkungan
 
II.  Hubungan Ekologi, Ekosistem dan Kesehatan Lingkungan
            Konsep dasar ilmu sanitasi lingkungan berasal dari ilmu yang mempelajari hubungan total antara makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya disebut ekologi dan berkembang menjadi beberapa disiplin ilmu lain seperti ilmu lingkungan, ilmu kesehatan lingkungan dan sanitasi lingkungan
Istilah ekosistem pertama kali diperkenalkan oleh Tansley (1935) yang mengemukakan bahwa hubungan timbal balik antara makhluk hidup (tumbuhan, hewan, manusia, dan mikroorganisme) dengan faktor lingkungan (cahaya, udara, air, tanah, dan sebagainya) di alam, membentuk suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan. Ilmu yang mempelajari tentang ekosistem adalah ekologi. Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk dari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan sebagai suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.
            Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unsur biosistem yang melibatkan hubungan timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik. Penggabungan tersebut menimbulkan energi terhadap suatu struktur biotik tertentu dan akan menimbulkan siklus materiantara organisme dan anorganisme
Istilah ekologi pada mulanya dicetuskan oleh seorang pakar biologi Jerman, yaitu Ernest Haeckel, pada tahun 1866. ekologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah dan logos yang berarti ilmu. Secara harfiah, ekologi bias diartikan sebagai ilmu kerumahtanggaan. Pengertian ekologi kemudian berkembang menjadi ilmu yang mempelajari interaksi antarmakhluk hidup dan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Untuk bisa memahami konsep ekosistem, maka harus mengerti terlebih dahulu komponen-komponen yang menyusun ekosistem.
Kesehatan lingkungan dapat dilihat dari berbagai segi, tergantung dari mata angin yang ingin memulai. Kesehatan lingkungan dari “frame-work” melalui konsep pendekatan ekologis yaitu dikenal dengan “the nature of man environment relationship”,namun bagi pendekatan tersebut terakhir ini kesehatan lingkungan dilihat sebagai kumpulan program maupun kegiatan kesehatan dalam rangka upaya manusia melalui teknologisnya menciptakan suatu kondisi kesehatan yang kemudian dikenal sebagai kesehatan lingkungan.
Dalam kaitannya dengan masalah ini kita menempatkan terminology kesehatan lingkungan dalam deretan akronim setingkat dengan kesehatan kerja, kesehatan jiwa, kesehatan angkasa dan lain sebagainya. Disamping kesehatan lingkungan itu dapat dikaji dari segi pendekatan ekologis maupun pendekatan operasional, ternyata kita masih dapat mengkaji dari pendekatan perkembangan ilmu terapan baru (applied science) yang bersifat komprehensif (pendekatan multi disipliner).
Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dibidang lingkungan (Ecology) kita lebih menekankan sistem tersebut pada arti interaksi antar elemen didalamnya. Interaksi yang senantiasa bersifat dinamis sehingga sering dijabarkan dalam pengertian “interactions between environment and mans biological system”
Bertitik tolak dari model timbangan Gordon, kemudian dimodifikasikan pada suatu model lanjutannya dijelaskan oleh empat factor, yaitu:
1.      Faktor penentu kahidupan atau life support
2.      Aktifitas manusia atau man’s activites
3.      Bahan buangan & residu karena kehadiran adan aktifitas manusia (residues and wastes
4.      Gangguan lingkungan (environmental hazards)


Dalam pendekatan ekologis ini justru menekanakan titik masalah pada man’s activities. Dari titik ini terdapat komunikasi dua arah yang masing-masing dapat ke arah Life Support, Residues and Wastes serta Gangguan Lingkungan. Namun di lain pihak dari segi kausal tidak digambarkan adanya interaksi antar-antar faktor.
Di dalam kaitan ini, kesehatan lingkungan menempatkan dan menggantungkan diri pada keseimbangan ekologi, sehingga karenanya berusaha menjalin suatu keseimbangan interaksi manusia dengan lingkungannya pada tarap optimal dan batas-batas tertentu untuk menjamin kehidupan yang tetap sehat (well being). Kehidupan yang sehat meliputi baik dimensi kesehatan fisik, kesehatan mental maupun hubungan sosial yang optimal dengan lingkungan sekitar. Bila kondisi yang optimal dapat dicapai karena timbulnya interaksi yang “menekan” kehidupan, maka kesehatan lingkungan sampai batas-batas dimungkinkan dapa menyerasikan diri melalui berbagai upaya.
Perubahan yang sesungguhnya ditimbulkan oleh manusia sendiri pada umumnya, dan dipengaruhi oleh:
1.      Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, yang sering dikenal dengan istilah “peledakan penduduk” dengan segala implikasi kaitannya lebih lanjut.
2.      Urbanisasi, yang dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang terjadi pada kota-desa, dimana dampaknya tidak saja dirasakan bagi system kehidupan kota melainkan juga ikut merugikan kehidupan sistem pedesaan sendiri.
3.      Industrialisasi, yang menimbulkan berbagai mata rantai implikasi serta sebagai akses secara luas.
4.      Perkembangan teknologi yang sangat cepat, khususnya bagi negara-negara yang sedang berkembang yang belum dapat menyiapkan diri dalam sistem sosialnya (infra structural).
5.      Kebutuhan yang “meningkat” dari masyarakat untuk memaksakan meningkatkan standart kehidupan, pada hal syarat-syarat untuk mendukung ini juga belum disiapkan.
Walaupun demikian ada tiga pokok yang dapat dilakukan dalam mengembangkan upaya-upaya kesehatan lingkungan  yaitu :
a.       Di mana dimungkinkan gangguan-gangguan yang dapat berakibat terhadap kesehatan lingkungan perlu di cegah.
b.      Apabila gangguan tersebut telah ada, langkah berikutnya adalah mengusahakan mengurangi atau meniadakan efeknya terhadap kecenderungan timbulnya penyakit didalam masyarakat.
c.       Mengembangkan lingkungan yang sehat, khususnya pada daerah-daerah padat melalui sistem perencanaan dan pengendalian yang mudah terhadap pemukiman,perumahan dan fasilitas rekreasi yang sesungguhnya bisa menjadi pusat kunjungan manusia dan sumber penularan.
       Dengan demikian pendekatan ekologis yang dapat dipertimbangkan sebagai masukan dalam suatu definisi kesehatan lingkungan. Kesehatan lingkungan yang mempunyai dimensi yang luas dan berbeda berdasarkan faktor kemampuan pelaksanaannya dimasing-masing negara.

ETIKA DAN NILAI LINGKUNGAN

TUGAS
ETIKA DAN NILAI LINGKUNGAN
KONSEPSI JEJAK EKOLOGIS DAN ETIKA LINGKUNGAN
index.jpeg
OLEH :
LINDA NOVITA SARI
(13.13101.10.13)
Dosen :
Prof. Dr. Ir. Supli Effendi Rahim, M.Sc

PROGRAM PASCASARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
STIK BINA HUSADA
PALEMBANG
2013


BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Dimulainya otonomi daerah di awal tahun 2001, merupakan awalan barudalamperjalanan kepemerintahan di Indonesia. Otonomi daerah memberikan  kesempatan pada daerah untuk mengembangkan potensinya bagi kesejahteraan seluruh masyarakat yang ada pada daerah yang dimaksud.  Pengembangan ini tentunya, harus didampingi dengan kemampuan daerah untuk bisa menata kinerja kepemerintahan, yang mendukung terjalinnya hubungan kesetaraan yang optimal dengan masyarakat, selain juga harus pandai dalam pengaturan pemanfaatan sumber daya alam (baik yang terbarukan ataupun tidak). Khusus untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya alam (“SDA”) yang terbarukan atau “renewable resources” , pemerintahan di daerah harus mampu untuk merancang strategi jangka panjang, dengan mengacu pada konsep-konsep pengembangan ekonomi yang berpijak pada –salah satunya- konsep “jejak ekologi”.  Hal ini sangat penting, karena sebutan sumber daya alam terbarukan, kadang bisa menjebak kita dalam memaknainya. Memang benar bahwa  SDA dari kelompok ini (termasuk air, keanekaragaman hayati, ekosistim hutan, ekosistim laut, kesuburan tanah dsb), apabila sudah dimanfaatkan atau dipanen, dalam jangka waktu tertentu kuantitas maupun kualitasnya  bisa pulih kembali.

Hutan yang rusak apabila dibiarkan dalam selang waktu tertentu akan mulai “hidup” lagi secara bertahap, dengan melalui proses suksesi dan “recovery”. Demikian juga dengan ekosistim yang lain, misalnya laut ataupun sungai. Air yang tercemar, setelah melalui proses siklus air bumi (yang merupakan salah satu siklus biogeokimia), akan suatu saat muncul sebagai sumber air bisa dimanfaatkan kembali. Sayangnya, pengertian konsep “terbarukan” tidak dibarengi dengan telaah secara rinci pada "“the big picture” atau “gambaran besar” dari keberadaan dan ketersediaan sumber daya tersebut di bumi ini. Kata “terbarukan” seakan-akan memberikan legitimasi dalam pemanfaatan ataupun pemanenan sumber daya secara menerus (bahkan dengan laju yang meningkat), demi pertumbuhan ekonomi, yang notabenenya adalah sebagai suatu sistim “pemuas konsumsi”. Living Planet Report 2000, melaporkan bahwa selama selang waktu 30 tahun terakhir kekayaan bumi akan sumber daya alam terbarukan telah menurun sebesar 33%, padahal laju konsumsi manusia akan SDA terbarukan naik 50 % dan terus naik. Ini berarti telah terjadi “ketekoran” kekayaan bumi, alias “besar pasak dari pada tiang”, yang berarti laju regenerasi ataupun “recovery” sumber daya terbarukan tidak sebanding dengan laju pengambilannya

Suatu negara yang kelebihan penduduk akan berdampak kepada tingkat permintaan pada hasil sumber daya alam yang dapat berakibat kerusakan pada lingkungan. Dalam membandingkan dampak manusia terhadap lingkungan di negara berkembang dan sangat maju, kita melihat bahwa negara  kelebihan penduduk terjadi ketika lingkungan memburuk karena ada terlalu banyak orang. Sebaliknya, hasil kelebihan konsumsi populasi dari gaya hidup berorientasi konsumsi di negara-negara sangat maju. Kelebihan konsumsi populasi memiliki efek yang sama terhadap lingkungan sebagai polusi kelebihan populasi orang dan degradasi lingkungan. Banyak negara-negara makmur, negara-negara sangat maju, termasuk negara-negara Amerika, kanada, jepang, dan sebagian besar eropa, menderita kelebihan penduduk. Negara Sangat maju mewakili kurang dari 20% dari populasi dunia, namun mereka mengkonsumsi secara signifikan lebih dari setengah dari sumber dayanya.

Bumi memiliki tingkat keterbatasan sumber daya berkaitan dengan  jejak ekologi yang merupakan jumlah lahan yang dibutuhkan untuk mendukung kebiasaan konsumsi atau dengan kata lain, berapa banyak dari bumi sumber daya yang  digunakan untuk mendukung gaya hidup.

Isu jejak ekologi telah diketahui selama bertahun-tahun. Tapi dengan penduduk dunia terus meningkat dan sumber daya di dunia terus berkurang, masalah ini sekarang menjadi salah satu masalah kritis. Di Amerika Serikat,  jejak Ekologi rata-rata penduduk yang khas adalah sekitar 24 hektar. Itu adalah lebih dari negara lain di dunia. Jika kita menghitung jumlah properti yang dibutuhkan untuk mendukung orang yang khas di dunia, itu akan menjadi sekitar 4,5 hektar. Jadi, seperti yang Anda lihat, sebagai orang Amerika kita mengambil saham kami dan banyak lagi.

Kebutuhan manusia terhadap apa yang diperlukan berhubungan dengan perilaku manusia terhadap lingkungan hidupnya, tetapi bukan berarti bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta (antroposentris). Lingkungan hidup adalah lingkungan di sekitar manusia, tempat dimana organisme dan anorganisme berkembang dan berinteraksi, jadi lingkungan hidup adalah planet bumi ini. Ini berarti manusia, organisme dan anorganisme adalah bagian integral dari dari planet bumi ini. Hal ini perlu ditegaskan sebab seringkali manusia bersikap seolah-olah mereka bukan merupakan bagian dari lingkungan hidup.

Secara entimologis manusia dan bumi sama sama mempunyai akar kata yang sama dalam bahasa semit, yaitu disebut ‘dm, asal kata adam (manusia) dan adamah, artinya tanah. Manusia adalah lingkungan hidup, sebab dia mempunyai ciri-ciri dimana seluruh komponen yang yang ada berasal dari alam ini, yaitu ciri-ciri fisik dan biologis. Di jaman moderen ini teknologi dianggap mempunyai lingkungannya sendiri yang disebut (teknosfer) yang kemudian dianggap mempunyai peran penting dalam merusak lingkungan fisik. Untuk mempertahankan eksistensi planet bumi maka manusia memerlukan kekuatan/nilai lain yang disebut ‘etosfer’, yaitu etika atau moral manusia. Etika dan moral bukan ciptaan manusia, sebab ia melekat pada dirinya, menjadi hakikatnya. Sama seperti bumi bukan ciptaan manusia. Ia dikaruniai bumi untuk dikelola dan pengelolaan itu berjalan dengan baik dan bertanggung jawab sebab ia juga dikaruniai etosfer.

Etika adalah hal yang sering dilupakan dalam pembahasan perusakan lingkungan. Pada umumnya pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini cenderung langsung menggunakan fenomena-fenomena yang muncul di permukaan dan kemudian mencari penyebabnya kepada aktivitas yang ada di sekitar fenomena tersebut (misalnya: Logging, Pertambangan, Industri dll) sebagai tersangka dan untuk mendukung kecurigaan tersebut digunakanlah bukti-bukti yang dikatakan ilmiah, walaupun sering terjadi data yang dikemukakan tidak relevan. Pada sisi lain pihak yang dituduh kemudian juga menyodorkan informasi atau data yang bersifat teknis yang menyatakan mereka tidak bersalah, akibatnya konflik yang terjadi semakin panas dan meluas, padahal kalau mereka yang berkonflik memiliki etika yang benar tentang lingkungan hidup maka konflik yang menuju kearah yang meruncing akan dapat dicegah.

Permasalahan tersebut pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal yaitu keserakahan yang bersifat ekonomi (materialisme), ketidak tahuan bahwa lingkungan perlu untuk kehidupannya dan kehidupan orang lain serta keselarasan terhadap semua kehidupan dan materi yang ada disekitarnya, atau karena telah terjadi transaksi jiwa antara perusak lingkungan dengan Mephistopheles, sehingga yang di kedepankan adalah meraih puncak-puncak nafsu yang ada di bumi dan sekaligus mendapatkan bintang-bintang indah di langit atau surga. Bukankah ini sesuatu yang ironis. Lingkungan bukanlah obyek untuk dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab, tetapi harus ada suatu kesadaran bahwa antara manusia dan lingkungan terdapat adanya relasi yang kuat dan saling mengikat. Rusaknya lingkungan hidup akan berakibat pada terganggunya kelangsungan hidup manusia. Karena itu setiap kali kita mengeksploitasi sumberdaya mineral dari alam yang diciptakan oleh Tuhan, kita harus memperhitungkan dengan seksama manfaat apa yang akan dihasilkannya bagi kemaslahatan manusia. Dengan demikian pemanfaatan ini tetap dalam tujuan transformasi menjadi manusia yang merdeka, cerdas, dan setara satu dan lainnya.

 

1.2  Tujuan

1.      Untuk mengetahui konsep jejak ekologi

2.      Untuk mengetahui secara umum tentang etika lingkungan

3.      Apa hubungan antara jejak ekologi dan etika lingkungan?

4.      Bagaimana cara beretika terhadap lingkungan untuk mengatasi permasalahan jejak ekologis ?

 

 

 

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Konsep Jejak Ekologi

Sebagian orang pada bumi mungkin seperti kawan akrab yang setiap waktu mengasihi. Sebagian orang pada bumi mungkin juga seperti orang yang saling follow di twitter tapi tidak pernah saling mention. Mungkin lupa, atau memang tidak begitu dianggap adanya. Padahal, semua orang punya kebutuhan pada bumi. Maka idealnya semua orang haruslah mengasihi bumi. Hanya saja, tidak semua orang tahu bagaimana caranya.

Memahami jejak kaki ekologis (ecological footprint) hanya sebagian kecil saja dari upaya mengenal bumi. Manusia pada bumi pun berlaku peribahasa yang terkenal itu; tak kenal maka tak sayang.

Dengan menghitung Jejak Ekologis, kita bisa melihat tingkat kemakmuran penduduk di suatu wilayah. Semakin besar Jejak Ekologis-nya, bisa dikatakan penduduk di wilayah itu semakin makmur. Kemudian, dengan membandingkan Jejak Ekologis dengan Biokapasitas, kita bisa melihat apakah suatu wilayah mengalami defisit ekologis atau yang diistilahkan dengan “overshoot.” Sederhananya, overshoot terjadi ketika nilai Jejak Ekologis melampaui Biokapasitas.

Jika suatu wilayah mengalami overshoot, bagaimana penduduknya tetap bisa hidup dengan nilai Jejak Ekologis yang tinggi? Well, materi dan energi yang kita konsumsi kan tidak hanya didapat dari wilayah yang kita tinggali. Bisa jadi kita hidup dengan disokong oleh Biokapasitas wilayah lain yang sumberdayanya diambil kemudian disajikan dihadapan kita. Dengan mengetahui ini maka kita akan ditarik ke dalam dimensi lain dari konsep Jejak Ekologis, yaitu konsep pemerataan kesejahteraan. Terbayangkah ketika jejak ekologis kita besar, maka yang “mengijinkan” kita memiliki gaya hidup seperti saat ini adalah anak-anak kecil yang kelaparan di Afrika sana

Dikaitkan dengan penataan ruang, hasil dari Jejak Ekologis mungkin tidak akan memberikan rekomendasi yang memuaskan. Apalagi jika harus dituangkan ke dalam kebijakan dan strategi pembentuk struktur dan pola ruang.

Ilmuwan Mathis Wackernagel mengembangkan konsep jejak ekologis untuk membantu orang memvisualisasikan apa yang mereka gunakan dari lingkungan. Menurut Wackernagel, setiap orang memiliki jejak ekologis, jumlah atau lahan produktif, air tawar, dan laut yang dibutuhkan secara terus menerus untuk memasok bahwa makanan orang, kayu, energi, air, perumahan, pakaian, transportasi, dan pembuangan limbah. Tahun 2002 hidup planet Laporan yang dihasilkan oleh para ilmuwan di dana satwa liar dunia, program Lingkungan PBB, dan organisasi lainnya, menghitung bahwa bumi memiliki sekitar 11,4 milyar hektar (28,2 miliar hektar) lahan produktif dan air. Jika kita membagi daerah ini dengan populasi manusia global, ini menunjukkan bahwa setiap orang yang dialokasikan sekitar 1,9 hektar (4,7 hektar). Namun, jejak ekologi rata-rata global setiap orang adalah sekitar 2,3 hektar (5,7 hektar), yang berarti kita manusia memiliki defisit ekologi kita telah melampaui jatah kami. Kita bisa melihat rersults jangka pendek sekitar kita kerusakan hutan, degradasi lahan pertanian, hilangnya keanekaragaman hayati, perikanan laut menurun, dan kekurangan air lokal. Prospek jangka panjang, jika kita tidak serius menangani konsumsi kita sumber daya alam, berpotensi bencan

Salah satu hasil dari kehancuran akhirnya milik bersama adalah kepemilikan pribadi atas tanah, karena ketika setiap individu memiliki sebidang tanah, itu kepentingan individu yang terbaik untuk melindungi tanah dari penggembalaan ternak yang berlebihan. Kepemilikan pemerintah dan pengelolaan sumber daya, karena wewenang pemerintah bisa memaksakan aturan tentang pengguna sumber daya dan dengan demikian melindunginya.

Namun, banyak ahli berpikir bahwa kerusakan tersebut tidak dapat dihindari karena ini, mungkin untuk mengelola secara berkelanjutan sumber daya umum tanpa privatisasi (kepemilikan individu) atau manajemen pemerintahan. Sebagai salah satu pergi dari lokal ke regional untuk bersama global, tantangan berkelanjutan mengelola sumber daya menjadi lebih kompleks.. Tidak ada individu, yurisdiksi, atau negara memiliki kepentingan bersama global, dan mereka rentan terhadap berlebihan. Meskipun eksploitasi bisa mendapatkan manfaat hanya aa sedikit, semua orang di bumi harus membayar biaya lingkungan dari eksploitasi.

Dunia membutuhkan kebijakan hukum dan ekonomi yang efektif untuk mencegah degradasi jangka pendek dari global bersama kita dan memastikan jangka panjang kesejahteraan sumber daya alam kita. Tidak ada perbaikan cepat karena solusi untuk masalah lingkungan global yang tidak sederhana atau jangka pendek sebagai solusi beberapa masalah lokal. Sebagian besar penyakit lingkungan terkait erat dengan masalah persisten lainnya seperti kemiskinan, kelebihan penduduk, dan masalah ketidakadilan sosial di luar kemampuan satu bangsa untuk menyelesaikan. Banyaknya peserta yang harus mengatur, menyepakati batas, dan menegakkan aturan mempersulit pembuatan perjanjian global untuk mengelola dunia bersama. Perbedaan budaya dan ekonomi antara peserta membuat menemukan solusi bahkan lebih menantang.

Jelas, semua orang, bisnis, dan pemerintah harus menumbuhkan rasa tanggung jawab pengelolaan bersama untuk perawatan berkelanjutan dari planet kita. Kerjasama dan komitmen di tingkat internasional sangat penting jika kita ingin mengentaskan kemiskinan, menstabilkan populasi manusia, dan melestarikan lingkungan dan sumber daya untuk generasi mendatang.

 

2.2 TEORI-TEORI ETIKA LINGKUNGAN

Hasil analisis kita sampai sekarang adalah bhwa hanya manusia mempunyai tanggung jawab moral terhadap lingkungan. Walaupun manusia termasuk alam dan sepenuhnya dapat dianggap sebagai bagian alam , namun hanya dialah yang sanggup melampaui status alaminya dengan memikul tanggung jawab. Isi tanggung jawabnya dalam konteks ekonomi dan bisnis adalah melestarikan lingkungan hidup atau memamfaatkan sumber daya alam demikian rupa sehingga kualitas lingkungan tidak dikurangi, tetapi bermutu sama seperti sebelumnya. Kegiatan ekonomisnya harus harus memugkinkan pembangunan berkelanjutan. Di sini kita mencari dasar etika untuk tanggung jawab manusia itu. Seperti sering terjadi, dasar etika itu disajikan oleh beberapa pendekatan yang berbeda.

Etika adalah penilaian terhadap tingkah laku atau perbuatan. Etika bersumber pada kesadaran dan moral seseorang. Etika biasanya tidak tertulis. Namun ada etika yang tertulis, misalnya etika profesi, yang dikenal sebagai kode etik.

Etika merupakan suatu cara pandang dan kontruksi nilai yang mendasari sikap dan perilaku manusia dalam memperlakukan alam dan lingkungannya. Sony Keraf (2002), Etika merupakan sebuah refleksi krisis tentang norma dan nilai atau prinsip moral yang dikenal umum selama ini dengan kaitannya dengan lingkungan, cara pandang manusia dengan manusia, hubungan antara manusia dengan alam, serta perilaku yang bersumber dari cara pandang ini. Etika lingkungan diartikan sebagai refleksi kritis tentang norma dan nilai atau prinsip moral yang selama ini dikenal dalam komunitas manusia untuk diterpakan secara lebih luas dalam komunitas biotis atau komunitas ekologis.

Kesimpulannya, etika lingkungan adalah refleksi kritis tentang apa yang harus dilakukan manusia dalam menghadapi pilihan-pilihan moral yang terkait dengan isu lingkungan hidup, termasuk pilihan moral dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang memberi dampak pada lingkungan.

Arne Naess (Sonny Keraf, 2002) menegaskan, krisis lingkungan dewasa ini hanya dapat diatasi dengan melkukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Yang dibutuhkan manusia adalah sebuah pola/gaya hidup baru yuang tidak hanya menyangkut orang per orang tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.

Etika lingkungan, pada dasarnya adalah perbuatan apa yang dinilai baik untuk lingkungan dan apa yang tidak tidak baik bagi lingkungan. Etika lingkutan bersumber pada pandangan seseorang tetang lingkungan.

Prinsip-prinsip etika lingkungan mengatur sikap dan tingkah laku manusia dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip tidak merugikan, tidak campur tangan, kesetiaan, dan keadilan

a.      Prinsip tidak merugikan (the rule of Nonmaleficence), yakni tidak merugikan lingkungan, tidak menghancurkan populasi spesies atau pun komunitas biotic.

b.      Prinsip tidak campur tangan (the rule of noninterference), yakni tidak memberi hambatan kepada kebebasan setiap organisme, yaitu kebebasan mencari makan, tempat tinggal, dan berkembang biak.

c.       Prinsip kesetiaan (The rule of fidelity) yakni tidak menjebak, menipu, atau memasang perangkap terhadap makhluk hidup untuk semata-mata kepentingan manusia.

d.      Prinsip keadilan (the Rule of Restitutive Justice), yakni mengembalikan apa yang telah kita rusak dengan membuat kompensasi.

 

Beberapa contoh tindakan tindakan yang sesuai dengan etika lingkungan adalah sebagai berikut :

1.      Membuang sampah (missal bungkus permen) pada tempatnya. Jika belum ditemukan tempat sampah, bungkus permen itu hendaknya dimasukkan ke saku terlebih dahulu sebelum di buang pada tempatnya.

2.      Menggunakan air secukupnya. Jika tidak sedang digunakan, matikan keran. Dari keran yang menetes selama semalam, dapat ditampung air sebanyak 5- 10 liter, cukup untuk minum bagi dua orang dalam sehari. Ingat, sesungguhnya air itu tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk makhluk hidup lainnya.

3.      Hemat energi. Mematikan lampu listrik jika tidak digunakan. Jika kamu memasak air, kecilkan api kompor tersebut segera setelah air mendidih. Menurut hukum fisika, jika air mendidih, suhunya tidak dapat ditingkatkan lagi. Menggunakan api kompor besar ketika air sudah mendidih hanya memboroskan bahan bakar.

4.      Tidak membunuh hewan yang ada di lingkungan, menangkap, atau memeliharanya

5.       Tidak memetik daun, bunga, ranting, atau menebang pohon tanpa tujuan yang jelas dan bermanfaat.

6.      Gemar menanam bunga, merawat tanaman, melakukan penghijauan.

7.      Mencegah terjadinya pencemaran lingkungan

8.      Mengembalikan hewan atau tumbuhan ke habitat aslinya.

 

2.3  TIGA TEORI ETIKA LINGKUNGAN

1.      Antroposentrisme

Teori antroposentrisme berpendapat bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta. Manusia memiliki hak, kepentingan dan nilai atas alam. Sehingga manusia memiliki kebebasan penuh untuk memanfaatkan alam, mengeksploitasinya untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Karena manusia adalah penguasa tunggal atas alam.

Teori ini diperkuat dengan paradigma ilmu Cartesian yang bersifat mekanistik reduksionis, dimana adanya pemisahan yang tegas antara manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek ilmu pengetahuan yang menyebabkan terjadinya pemisahan antara fakta dengan nilai. Adalah tidak relevan jika menilai baik buruk ilmu pengatahuan dan teknologi beserta segala dampaknya dari segi moral dan agama. Antroposentrisme melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam.

2.      Biosentrisme

Teori biosentrisme memandang setiap bentuk kehidupan dan makhluk hidup memiliki nilai dan berharga bagi kehidupan dan makhluk hidup memiliki nilai dan berharga bagi dirinya sendiri sehingga pantas dan perlu mendapat penghargaan dan kepedulian moral atas nilai dan harga dirinya itu, terlepas apakah ia bernilai tidak bagi manusia. Harus ada perluasan lingkup diberlakukannya etika dan moralitas untuk mencakup seluruh kehidupan di alam semesta. Etika seharusnya tidak lagi dipahami secara terbatas dan sempit yang berlaku pada komunitas manusia, tetapi etika berlaku bagi seluruh komunitas biotic, baik manusia maupun makhluk hidup lainnya.

3.       Ekosentrisme

Teori Ekosentrisme mengembangkan wilayah pandangan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Secara ekologis, sistem alam semesta dibentuk dan disusun oleh sistem hidup (biotic) dan benda-benda abiotik yang saling berinteraksi satu sama lin. Masing-masing saling membutuhkan dan memiliki fungsi yang saling mengisi dan melengkapi. Kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup, melainkan juga berlaku bagi seluruh entenitas ekologis.

Implementasinya yaitu gerakan Deep Ecology (DE) yang mengupayakan aksi-aksi konkret dari prinsip moral etika ekosentrisme secara komprehenseif menyangkut seluruh kepentingan elemen ekologis, tidak sekedar sesutau yang instrumental dan ekspansif seperti pada antroposentrisme.

 

Kaitannya dengan ekologi, adanya paham environmentalisme yang berkeyakinan bahwa lingkungan haruslah dipertahankan dan dilindungi dari kerusakan akibat ulah manusia.  Pandangan ini terdisi dari pandangan pragmatic yaitu untuk mengeksploitasi berbagai sumber daya alam, sumber-sumber itu terkadang harus dilestarikan, pandangan kedua yaitu preservasionisme dimana melibatkan perubahan cara berfikir yang lebih fundamental, gagasan bahwa alam memiliki nilai intrinsic dan harus dilindungi demi alam itu sendiri]

 

2.4  DASAR-DASAR ETIKA DAN KESADARAN LINGKUNGAN

Miller (1982 489)mengidentifikasikan dasar-dasar/pendekatan etika lingkungan , yaitu:

a.      Dasar Pendekatan Ekologis, pemahaman adanya keterkaitan yang luas atas kehidupan dimana tindakan manusia pada masa lalu. Sekarang dan yang akan dating, akan memberi dmapak yang tak dapat diperkirakan.

b.      Dasar Pendekatan Humanisme, menekankan pada pentingnya tanggung jawab kita untuk hak dan kesejahteraan manusia lain atas sumber daya alam.

c.        Dasar Pendekatan Teologis, bersumber pada agama yang nilai-nilai luhur dan mila ajarannya menunjukan bagaimana alam sebenarnya diciptakan dan bagaimana sebenarnya kedudukan dan fungsi manusia serta interaksi yang selayaknyaterjalin antara alam dan manusia.

Miller pun mengidentifikasikan Empat tingkat kesadaran lingkungan :

a.      Polusi, sebagai penanda mulai adanya krisis lingkungan akibat pola hidup dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

b.      Populasi yang melimpah (overpopulation), peningkatnan jumlah populasi manusia berdampak meningkatnya pola hidup dan jumlah konsumsi yang bverujung pada bertambahnya krisis lingkungan.

c.       Krisis bumi, semakin kompleksnya krisis lingkungan di masyarakat yang berubah menjadi krisis lingkungan secara global.

d.      Keberlanjutan bumi, krisi lingkungan tidak lagi merupakan masalah lingkungan fisik, tetapi merambat ke masalah ekonomi, politik, social budaya dan keamanan dunia. Manusia lantas mulai berfikir dan terbuka matanya atas suatu kebutuhan berkelanjutan generasi (spesies) manusia yng memunculkan tuntutan bagaimana menciptakan proses berkelanjutan bumi (Miller, 1982: 485-488).

 

2.5  CARA BERETIKA TERHADAP ALAM/LINGKUNGAN

1        KEMBALI KE ALAM (BACK TO NATURE)

Penghancuran terhadap lingkungan yang menyebabkan hancurnya habitat yang ada merupakan factor paling utama sebagai penyebab kepunahan. Cara yang terbaik yang dapat dilakukan adalah melindungi lingkungan tempat tinggal mereka. Sekitar 6% permukaan di dunia saat ini telah dijadikan sebagai kawasan yang dilindungi, demikian halnya dengan satu benua penuh yaitu Antartika yang menjadi satu-satunya daratan di bumi yang telah berhasil dilindungi dari introduksi spesies asing terutama kerena sedikit makhluk hidup asing yang dapat bertahan di sana. Di bawah perjanjian-perjanjian internasional yang melindungi benua itu, mengintroduksi bakteri sekalipun dilarang. Banyak ekolog yang berpendapat bahwasanya total area bumi yang dibutuhkan untuk dijadikan kawasan yang dilindungi adalah sekitar 10%, tapi 6% sudah merupakan awal yang baik. Costa Rica secara luar biasa menyediakan lahan 27% dari keseluruhan luas Negara untuk dirancang sebagai Taman Nasional dan cagar alam. Di Amerika penyediaan lahan hanya mencapai 10%. Lalu, bagaimana dengan di Indonesia?

Secara sepintas saja masyarakat Indonesia tentu melihat kurangnya pengoptimalan cagar alam dan taman nasional di Indonesia. Akan tetapi jangan melihat dari upaya-upaya yang dilakukan beberapa pihak tentang pelestarian cagar alam. Namun ambisi kepentingan-kepentingan sepihak yang menyebabkan pembukaan hutan yang ‘disulap’ menjadi perkebunan dan pertanian atau bahkan pemukiman  warga masih sering sekali terjadi demi kepentingan investasi. Oleh karena itu adanya keseimbangan pelaksanaan dengan system yang ada pada suatu wilayah dirasa perlu untuk ditegaskan agar kepentingan-kepentingan ekonomi dapat diselenggarakan secara lebih harmonis terhadap alam.

Selain pelaksanaan terhadap perlindungan lingkungan alamiah, manusia pun perlu melakukan perubahan pola hidup yang selaras dengan keseimbangan alam. Pengurangan konsumsi pada pemakaian bahan-bahan kimia serta penghematan air, pemanfaatan lingkungan dan meminimalisir penggunaan fasilitas yang dapat menyebabkan polusi seperti halnya menggunakan sepeda untuk pengurangan polusi udara. Kegiatan ini tidak merupakan promosi lingkungan hidup saja, tetapi merupakan sasaran kehidupan manusia untuk kebaikan hidupnya di masa depan. Tentunya hal ini akan sangat lebih mudah dilakukan dengan adanya penegasan pemerintah yang memberikan kompromi untuk turut aktif dalam penegasan mencanangkan “hari bebas polusi” sehingga mempermudah terjadinya perubahan gaya hidup masyarakatnya.

 

2        MENETAPKAN HUKUM

Sejak tahun 1970-an sejumlah konvensi internasional telah ditetapkan untuk mengatasi masalah polusi udara dan perubahan iklim serta masalah-masalah lingkungan lainnya. Walaupun perjanjian tersebut tidak sempurna namun beberapa diantaranya telah terbukti berguna.  Protocol Montreal mengenai Substansi Perusak Lapisan Ozon ditandatangani tahun 1987 dan diperkokoh tahun 1990 dan 1992, yang merupakan salah satu perjanjian internasional yang paling sukses di bidang lingkungan yaitu mengehentikan poroduksi zat-zat kimia perusak ozon paling lambat tahun 2006. Demikian halnya di Indonesia, adanya aturan dan larangan yang telah dibuat pemerintah sebagai upaya dan dukungan terhadap perlindungan alam liar yang kondisinya sangat mengkhawatirkan. Namun tidak sedikit pula kurangnya penegasan dalam implementasi pelaksanaan tersebut, seperti kurangnya biaya yang menjadi factor yang sangat berpengaruh dalam pelestarian lingkungan yang ada.

Kini sudah tampak beberapa gejala yang menunjukkan bagaimana lingkungan hidup memang mulai disadari sebagai suatu masalah keadilan social yang berdimensi global. Di mana-mana ada Lembaga Swadaya Masyarakat yang aktif di bidang lingkungan hidup. Di beberapa Negara di Eropa Barat malah ada partai politik yang memiliki sebagian program pokok memperjuangkan kualitas lingkungan hidup. Walaupun di bidang lingkungan hidup sebagai masalah keadilan social para individu masing-masing tidak berdaya, itu tidak berarti bahwa manusia perorangan sebaiknya diam saja. Keadilan social dalam konteks lingkungan hidup barangkali lebih mua terwujud dengan kesadaran atau kerja sama semua individu, ketimbang keadilan social pada taraf perburuan, karena pertentangan kelas dan kepentingan pribadi di sini tidak begitu tajam. Masalah lingkungan hidup menyangkut masa depan kita semua. Jika ada kesadaran umum, bersama-sama akan dicapai banyak kemajuan

Kepedulian moral diperluas, sehingga mencakup komunitas ekologis seluruhnya, baik yang hidup maupun tidak. Ekosentrisme yang semakin diperluas dalam deep ecology dan ecosophy, sangat menggugah pemahaman manusia tentang kepentingan seluruh komunitas ekologis. Deep ecology menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat kepada manusia, melainkan berpusat pada keseluruhan kehidupan dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Yang menjadi pusat dunia moral bukan hanya lagi manusia, melainkan semua spesies, termasuk spesies bukan manusia. Deep ecology bukan hanya sekedar pemahaman filosofis tentang lingkungan hidup, melainkan sebuah gerakan konkrit dan praktis penyelamatan lingkungan hidup. Inilah pandangan yang sebaiknya kita kembangkan secara konsisten.

Bumi adalah tempat kehidupan yang terbatas, sumber-sumber dayanya juga terbatas. Manusia yang terlibat, baik dalam memelihara ataupun merusak ekosistem bumi, bisa menentukan arah dan kebijakan perilakunya. Sehingga dengan kesadarannya itu, manusia mampu menyiasati penggunaan sumber daya alam –yang tersedia di alam dalam jumlah yang terbatas- secara efisien dan hemat. Manusia wajib bersikap hemat dalam mendayagunakan sumber daya alam. Sebab sumber daya alam itu terbatas, terutama sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Misalnya minyak bumi, gas, batu bara dan lain-lain. Pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia sepantasnya dikelola secara bijaksana sepanjang keperluan manusia dan tidak menggunakannya secara berlebih-lebihan, yang akhirnya dapat menyebabkan bencana dan kerusakan alam.

Penerapan etika lingkungan

 
Sejumlah cara yang dapat dilakukan manusia yang berkaitan dengan etika lingkungan.
1. Konservasi : menjaga/membatasi sumber daya alam.
Maksudnya, manusia harus menghilangkan pandangan bahwa bumi merupakan SDA yang tidak terbatas sehingga manusia dapat menggunakan seenaknya
2. Meyakini bahwa manusia merupakan bagian dari alam, dengan cara:
 a. Tidak mengeksploitasi SDA secara berlebihan
 b. Tidak merusak alam sekitar
c. Memperbaiki kerusakan SDA akibat eksploitasi berlebihan dan menyadari bahwa eksploitasi mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan
3.  Mendukung dan menjamin bahwa lingkungan dapat meneruskan fungsinya untuk kelangsungan hidup semua makhluk dengan menghormati alam
4. Mengelola sistem lingkungan dengan menggunakan ilmu dan tekhnologi yang ramah lingkungan

Menurut UU pengelolaan Lingkungan Hidup, peran dan fungsi pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup :
a. Bertanggung jawab saat mengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup
b. Meningkatkan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
c. Mengembankan kebijakan nasional pengelolaan lingkungan hidup
d. Menyebarluaskan informasi lingkungan hidup kepada masyarakat
e. Memberi penghargaan bagi orang yang berjasa dalam pengelolaan lingkungan hidup dan memberi hukuman bagi yang merusaknya

 Peran Organisasi/Institusi dalam pengelolaan lingkungan
a. Memberikan pendidikan lingkungan hidup kepada masyarakat.
b. Meneliti masalah lingkungan hidup dan hasilnya disebarluaskan kepada masyarakat.
c. Mengontrol pemerintah dalam pelaksanaan UU pengelolaan lingkungan hidup.
d. Berperan aktif sebagai mitra regulator dalam memberikan informasi mengenai lingkungan hidup kepada masyarakat.
e. Membantu menyelesaikan masalah lingkungan hidup dalam masyarakat

 Peran  Individu dalam pengelolaan lingkungan
a. Mematuhi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup.
b. Tidak mengeksploitasi alam secara berlebihan.
c. Saling mengingatkan apabila ada yang melakukan kegiatan yang merusak lingkungan.
d. Menyayangi binatang dan tumbuhan sehingga terhindar dari kepunahan. 

 Peran Pengelolaan Lingkungan dalam  keluarga
a. Menanam dan memelihara tanaman di pekarangan rumah
b. Membiasakan diri membuang sampah pada tempatnya
c. Memberikan tanggung jawab pada tiap angggota keluarga untuk membersihkan rumah secara rutin
Peranan dalam Lingkungan Pendidikan /Sekolah/Universitas
a. Pembahasan atau mengenai lingkungan hidup
b. Pengelolaan sampah
c. Penanaman pohon

Peranan di Lingkungan Masyarakat
a. Membuang sampah pada tempat pembuangan sampah akhir secara berkala
b. Memisahkan sampah organik dan anorganik
c. Melakukan gotong royong secara berkala
d. Mendaur ulang sampah yang dapay diperbaharui


Jenis Etika Lingkungan dan Prinsip-prinsip pelaksanaanya

Sebagai makhluk hidup yang membutuhkan lingkungan, manusia memiliki kewajiban untuk menghormati, menghargai dan menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalam lingkungan. Mengapa? Karena manusia itu sendiri adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan. Manusia adalah bagian dari lingkungan. Perilaku positif manusia dapat menyebabkan lingkungan tetap lestari sedangkan perilaku negatifnya dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.

Etika manusia terhadap sesuatu adalah kebiasaan hidup yang baik yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Etika berisikan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup yang baik sebagai manusia, perintah dan larangan tentang baik buruknya perilaku manusia untuk mengungkapkan, menjaga, dan melestarikan nilai tertentu, yaitu apa yang dianggap baik dan penting. Dengan demikian etika berisi prinsip-prinsip moral yang harus dijadikan pegangan dalam menuntun perilaku.

Etika lingkungan hidup memfokuskan tentang  perilaku manusia terhadap alam serta hubungan antara semua kehidupan alam semesta. Etika lingkungan (etika ekologi) adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Prinsip etika lingkungan adalah: semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang.

 Etika Lingkungan berasal dari dua kata, yaitu Etika dan Lingkungan. Etika berasal dari bahasa yunani yaitu “Ethos” yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Ada tiga teori mengenai pengertian etika, yaitu: etika Deontologi, etika Teologi, dan etika Keutamaan. Etika Deontologi adalah suatu tindakan di nilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika Teologi adalah baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan atau akibat suatu tindakan. Sedangkan Etika keutamaan adalah mengutamakan pengembangan karakter moral pada diri setiap orang.

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan lingkungannya.etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.

Etika lingkungan dapat dikategorikan kedalam etika pelestarian dan etika pemeliharaan.  Etika pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk. Etika lingkungan dapat dibedakan menjadi etika lingkungan dangkal (shallow environmental ethics), etika lingkungan moderat (moderate environmental ethics) dan etika lingkungan dalam (deep environmental ethics). Di sini hanya akan dibicarakan yang pertama dan yang ketiga. Karena yang kedua merupakan peralihan antara yang pertama dabn yang kedua.

 

Etika Lingkungan Dangkal (Shallow environmental ethics)

Etika lingkungan dangkal merupakan pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan fungsi lingkungan sebagai sarana penyelenggaraan kepentingan manusia dan bersifat antroposentris. Etika lingkungan  dangkal biasa diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik. Dalam hal ini, alam hanya dipandang sebagai alat pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

Pokok-pokok penekanan dalam etika antroposentris adalah sebagai berikut.

  • Manusia terpisah dari alam.
  • Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.
  • Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya.
  • Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan manusia.
  • Norma utama adalah untung rugi.
  • Mengutamakan rencana jangka pendek.
  • Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya di negara miskin.
  • Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi.
    Jenis etika antroposentris.

1.      Etika antroposentris yang menekankan segi estetika alam (etika lingkungan harus dicari pada kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika).

2.      Etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi penerus(mendasarkan etika lingkungan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus manusia).

Tokoh: Eugene Hargrove dan Mark Sagoff.

 

Etika Lingkungan Dalam (Deep Environmental Ethics)

Dalam pandangan etika ini, alam sesungguhnya  memiliki fungsi kehidupan, patut dihargai dan  diperlakukan dengan cara yang baik (etika lingkungan ekstensionisme atau preservasi). Karena alam disadari sebagai penopang kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Untuk itu manusia dipanggil untuk memelihara alam demi kepentingan bersama, kepentingan manusia dan kepentingan alam itu sendiri.
Berikut adalah hal-hal yang ditekankan dalam etika lingkungan.

  • Manusia adalah bagian dari alam
  • Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang
  • Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam diperlakukan sewenang-wenang
  • Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk
  • Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai
  • Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati
  • Menghargai dan memelihara tata alam
  • Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem
  • Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.
    Jenis-jenis etika lingkungan dalam.

1.      Etika Neo-Utilitarisme. Etika ini merupakan pengembangan etika utilitarisme Jeremy Bentham yang dipelopori Pete Singer yang menekankan kebaikan untuk semua sehingga kebaikan etika lingkungan ditujukan untuk seluruh mahluk.

2.      Etika Zoosentrisme. Etika ini menekankan perjuangan hak-hak binatang (pembebasan binatang) dengan tokoh  Charles Brich. Menurut etika ini, binatang memiliki hak menikmati kesenangan karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan dan menjadikan rasa senang/penderitaan binatang sebagai salah satu standar moral.

3.      Etika Biosentrisme. Etika ini  menekankan kehidupan sebagai standar moral dengan salah satu tokohnya adalah Kenneth Goodpaster. Hal yang dijadikan tujuan bukanlah rasa senang atau menderita tetapi kemampuan atau kepentingan untuk hidup. Dengan menjadikan kepentingan untuk hidup sebagai standar moral, maka yang dihargai secara moral bukan hanya manusia dan hewan, melainkan seluruh makhluk hidup yang ada.

4.      Etika Ekosentrisme. Etika ekosentrisme menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu mamiliki keterkaitan satu sama lain secara mutual dan memandang bumi sebagai suatu pabrik terintegrasi berisi organsime yang saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. Kematian dan kehidupan haruslah diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan mahluk saling memangsa diantara semua spesies. Ini menjadi alasan mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur  yang ada di alam, seperti binatang maupun tumbuhan. Menurut salah satu tokohnya, John B. Cobb, etika ekosentrisme mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem.

5.       Hak Asasi Alam Makhluk hidup selain manusia tidak memiliki hak pribadi, namun makhluk hidup membutuhkan ekosistem atau habitat untuk hidup dan berkembang.Makhluk hidup seperti binatang dan tumbuhan juga mempunyai hak, meskipun mereka tidak dapat bertindak yang berlandaskan kewajiban. Mereka ada dan tercipta untuk kelestarian alam ini. Maka mereka juga mempunyai hak untuk hidup. Hak itu harus dihormati berdasar prinsip nilai intrinsik yang menyatakan bahwa setiap entitas sebagai anggota komunitas bumi bernilai. Dengan demikian, pembabatan hutan secara tidak proporsional dan penggunaan binatang sebagai obyek eksperimen tidak dapat dibenarkan.

Beberapa prinsip yang dapat menjadi pegangan dan tuntunan bagi perilaku manusia dalam berhadapan dengan alam.

1.      Sikap Hormat terhadap Alam (Respect For Nature). Hormat terhadap alam merupakan prinsip dasar bagi manusia sebagai bagian dari alam semesta seluruhnya. Setiap anggota komunitas ekologis, termasuk manusia, berkewajiban menghargai dan menghormati setiap kehidupan dan spesies serta menjaga keterkaitan dan kesatuan komunitas ekologis.

2.      Prinsip Tanggung Jawab (Moral Responsibility For Nature). Manusia mempunyai tanggung jawab terhadap alam semesta (isi, kesatuan, keberadaan dan kelestariannya).

3.      Solidaritas Kosmis (Cosmic Solidarity). Prinsip solidaritas muncul dari kenyataan bahwa manusia adalah bagian yang menyatu dari alam semesta dimana manusia sebagai makhluk hidup memiliki perasaan sepenanggungan dengan alam dan dengan sesama makhluk hidup lain.

4.      Prinsip Kasih Sayang dan Kepedulian terhadap Alam (Caring For Nature).Manusia digugah untuk mencintai, menyayangi, dan melestarikan alam semesta dan seluruh isinya, tanpa diskriminasi dan tanpa dominasi yang muncul dari kenyataan bahwa sebagai sesama anggota komunitas ekologis, semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti, dan dirawat.

5.       Prinsip tidak merugikan alam secara tidak perlu,

6.        Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam 

7.      Prinsip keadilan 

8.      Prinsip demokrasi 

9.       Prinsip integritas moral

 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6iiPuv6AJ07D9F6Uui0WHK9pafaxp5RIKjJ0L8W8eh8K_QeNLNNQ3Tt4KkY6BmzSQ0sqMFtXi8f4YTdu88i2BjfyMKg8l-_I9qHXbU3CJNMLGeiU6O7vv_Asr84pUWikBsa8Ozh7c1Es/s400/bagan.jpg

 

 

BAB III PENUTUP

2.3  Kesimpulan

Jadi Ecological Footprint dapat digunakan sebagai ukuran kemampuan kita dalam mendukung keberlanjutan bumi ini, dan menjadi indikator terbaik dan efisien dalam mendukung kelangsungan kehidupan. Alat ukur ini menjadi penting dalam konteks untuk mengetahui apakah kegiatan konsumsi yang kita lakukan masih dalam batas daya dukung lingkungan ataukah sudah melampaui ambang, dengan kata lain masih dalam surplus ataukah sudah dalam defisit (penurunan kualitas) ekologi. Manusia yang terlibat, baik dalam memelihara ataupun merusak ekosistem bumi, bisa menentukan arah dan kebijakan perilakunya. Sehingga dengan kesadarannya itu, manusia mampu menyiasati penggunaan sumber daya alam–yang tersedia di alam dalam jumlah yang terbatas- secara efisien dan hemat.

Dunia membutuhkan kebijakan hukum dan ekonomi yang efektif untuk mencegah degradasi jangka pendek dari global bersama kita dan memastikan jangka panjang kesejahteraan sumber daya alam kita. Tidak ada perbaikan cepat karena solusi untuk masalah lingkungan global yang tidak sederhana atau jangka pendek sebagai solusi Arre beberapa masalah lokal. Sebagian besar penyakit lingkungan terkait erat dengan masalah persisten lainnya seperti etika terhadap lingkungan (perilaku), kemiskinan, kelebihan penduduk, dan masalah ketidakadilan sosial di luar kemampuan satu bangsa untuk menyelesaikan. Banyaknya peserta yang harus mengatur, menyepakati batas, dan menegakkan aturan mempersulit pembuatan perjanjian global untuk mengelola dunia bersama. Perbedaan budaya dan ekonomi antara peserta membuat menemukan solusi bahkan lebih menantang.

Jelas, semua orang, bisnis, dan pemerintah harus menumbuhkan rasa tanggung jawab pengelolaan bersama untuk perawatan berkelanjutan dari planet kita. Kerjasama dan komitmen di tingkat internasional sangat penting jika kita ingin mengentaskan kemiskinan, menstabilkan populasi manusia, dan melestarikan lingkungan dan sumber daya untuk generasi mendatang.

 

2.4  Saran

 

Sebaiknya setiap manusia memilki tanggung jawab yang meliputi: tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, yang berarti keharusan meningkatkan kemampuan pribadi untuk memusatkan dirinya pada pemeliharaan alam dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan. Dan tanggung jawab terhadap orang lain yang merupakan sikap dan perilaku dalam berhubungan dengan orang lain dan alam, dengan terbangunnya individu-individu yang sehat akan mendukung terciptanya masyarakat yang sehat.


DAFTAR PUSTAKA 

Dirjen ESDM. 2010. Kebijakan Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata  Niaga Bahan

Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Makalah Seminar.

            FP UB-Dirjen ESDM Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral 

Environment (Peter H Raven, Linda R. Berg dan David M. Hassenzahl)"Global Footprint Network Homepage." Global Footprint Network. www.footprintnetwork.org